Sabtu, 08 Agustus 2009

Cerita tentang Mata

“Anak-anak kelas 10 sampai 12 tolong baris sesuai kelas!” seru suara parau itu dari Toa. Philia cepat-cepat menarik tasnya yang berat itu kembali ke pundaknya. Akibat pergerakan yang tiba-tiba itu ia menabrak seseorang. “Maaf!” pekiknya ketakutan. Saat itu yang ada dalam bayangannya adalah seorang OSIS yang galak. Ia menatap sosok anak laki-laki jangkung itu. Wajahnya begitu putih pucat dan lingkaran matanya sangat tebal. Sosok itu terlihat cemerlang dibawah sinar matahari. “Maaf,” ulangnya sekali lagi tapi sosok itu tak menyahut. Ia lantas pergi begitu saja.
Philia lalu kembali ke alam sadarnya. Ia berjalan menuju kelas 11 IPA 1 yang terletak ditengah barisan. Ketika ia sampai di tempat seharusnya. Sudah hampir saja upacara penyambutan murid baru dimulai. “Huh untung aja sampe tepat waktu!” ujarnya dalam hati. Lalu kembali menikmati sengatan panasnya matahari. Karena upacara dimulai pukul 8 pagi. Hal itu tentu saja membuat Philia gerah. Ingin cepat-cepat kembali ke halaman sekolah yang rindang.
Phillipha Septiana Astara nama panjang dari Philia. Gadis itu baru saja memasuki SMA barunya di kota tersebut. Sebelumnya ia tinggal di Jakarta. Ayahnya adalah seorang ilmuwan yang suka berpindah tempat. Norman Phillius Astara. Ia seorang ilmuwan yang sangat cakap dan brillian. Saat ini baru sekali orang Indonesia yang dapat mematenkan hak ciptanya di kancah Internasional. Ia adalah orang pertama yang membuat vaksinasi terhadap virus H1N1.
Oleh karena itu nama keluarga Astara sudah cukup dikenal. Apalagi dengan torehan prestasi abang tunggal Philia. Panggilannya Rifa. Nama panjangnya Rhiphanna Phillius Astara. Nama-nama dari keluarga Astara memang cukup unik. Bukan karena mereka keturunan orang asing. Tapi mereka hanya suka membuat nama mereka unik. Alasan yang simpel tapi cukup membuat orang berkata. “Aah…”
Rifa adalah pemain basket TIMNAS Indonesia. Sejauh prestasinya ini ia telah mendapat penghargaan “Best Young Player” dari NBA. Walau aktif dalam dunia perbasketan. Saat ini ia masih tecatat sebagai mahasiswa kedokteran UI. Karena ia masih sibuk berkuliah ria. Itu sebabnya ia tidak mengikuti ayahnya. Dalam membuat sebuah cabang Laboratorium baru. Ayah Phillia memang tengah mengembangkan proyek baru. Ia sedang membuat Lab canggih di dekat ITB. Itulah sebabnya mereka pindah ke Bandung.
Akhirnya upacara pada hari senin selesai. Phillia kembali duduk di bawah naungan sebuah pohon Beringin besar di taman sekolah. Saat ini ia sedang menunggu panggilan dari kepala sekolah. Untuk memperkenalkannya pada murid sekelasnya. Kedua pria yang ditunggu kehadirannya oleh Phillia tiba. Mereka mengajak Phillia ke sebuah kelas yang terletak di ujung koridor.
“Phillipa, tunggu sebentar disini kalau bapak suruh kamu masuk. Kamu baru boleh masuk ya!” ujarnya memberi intruksi. Phillia menggangguk kikuk. Perasaan ini menyerangnya, sangat kuat. Belum pernah ia menjadi murid baru seumur hidupnya. Rasanya perut Phillia seperti dihantam ombak keras. Sehingga seluruh isinya menjadi kacau balau lagi. Padahal tadi telah ditenangkan beberapa kali olehnya.
Ketika Pak Kepala sekolah memberinya perintah masuk. Ia menjinjing tasnya dengan canggung. Ia memasuki ruang kelas itu dan matanya terpancang pada satu sosok. Sosok itu adalah sosok yang tadi ia lihat. Kali ini ia bisa melihat wajahnya lebih jelas. Kulit pucatnya tidak berkurang malah semakin terlihat. Ia duduk sendirian di paling belakang barisan, tengah mengamatinya dengan seksama.
Sentuhan pelan dari Pak kepala sekolah membuatnya tersadar. Ia tergagap bangun dari lamunannya. Lalu ia mengeluarkan suara berdecit dan serak. Hal paling memalukan dalam hidupnya. “Na…nama saya Phillipa Septiana Astara. Saya dari Jakarta, sa…saya mohon dapat bantuan dari teman-teman. Terima kasih!” ucapnya keburu-buru. Ia bahkan lupa mengucapkan salam pembuka dan penutup. Genderang dalam jantungnya bertalu-talu begitu keras. Sehingga ia tidak dapat mengingat apa-apa.
Ia menatap lurus ke belakang kelas. Suasana kelas yang sedari tadi khidmat dan tenang. Menjadi penuh dengan dengung bisikan dari tiap mulut. Tidak ada banyak hal yang didapat Phillia. Ia hanya berdiri tegak, kaku dan canggung. Seakan ada pancang kasat mata yang membuatnya tetap berdiri. Ketiga guru yang berada di depan kelas berusaha mendiamkan. Sampai ada satu tangan terancung. Suasana kelas menjadi diam seketika. Guru-guru tersenyum senang.
Phillia dapat melihat pemilik tangan itu. Ia adalah sosok pucat dan aneh tadi. Ia berdiri dan semua mata tidak berani melihatnya. Beberapa bahkan sok sibuk sendiri. Ia bertanya dalam suara yang aneh. Sama anehnya dengan wajahnya yang pucat. Suaranya begitu berat dan dalam. Mengingatkan Phillia pada seseorang. Buru-buru ia menepis pikiran itu. Ia lalu terfokus pada anak laki-laki itu. Mendengarnya mengajukan pertanyaan.
“Phillia Astara adiknya Riphanna Astara?” tanyanya singkat. Phillia seakan merasa beban berat yang sedari tadi menggelayuti perutnya lepas. “Pertanyaan bodoh dari orang tak berotak macam apa itu?” candanya dalam hati. Ia ingin melepaskan tawanya yang terkumpul di ujung bibirnya. Tetapi kelas tetap saja hening tak bersuara sama sekali. Hingga Phillia diperbolehkan menjawab pertanyaan ajaib itu. Dengan satu anggukan ia menjawab. Kali ini lebih rileks. Laki-laki itu hanya mengangguk mengerti.
Setelah sepuluh menit perkenalan. Kedua pria yang membawa Phillia masuk kelas meninggalkan Phillia. Guru kelasnya yang tengah mengajar. Seorang wanita muda tersenyum padanya. Ia mempersilakan Phillia duduk di kursi belakang yang kosong. Tepat disebelah anak laki-laki pucat itu. Selama ia berjalan menuju tempat yang dipersilakan. Ia melihat banyak mata terpancang padanya. Termasuk mata sayu laki-laki itu. Dari balik kantung matanya yang tebal. Ia mengamati setiap senti tubuh Phillia. Phillia merasa sedikit risih namun dihiraukannya.
Bel istirahat pertama berbunyi nyaring. Anak laki-laki itu langsung bangun dan keluar kelas. Seperti biasa ia selalu sendirian. Sosoknya terlihat tinggi diantara yang lainnya. Namun begitu kurus dan pucat. Setelah kepergiannya. Beberapa anak perempuan mengelilinginya. Salah seorang dari mereka menatap Phillia lekat-lekat seakan ia monster.
“Lo mau dipanggil apa sama kita?” tanya anak perempuan itu ramah. Saat itu tempatnya telah dikerumuni oleh sekitar empat orang perempuan. “Phillia… Phillia saja!” katanya singkat. Anak-anak perempuan lain mengangguk. “Nama gue Sita!” ujar anak perempuan ceking itu. Yang lainnya berebutan memperkenalkan diri. Ada empat nama yang didapat Phillia hari itu. Mereka adalah Sita, Arfi, Defa dan Rinan.
“Lo hebat bisa duduk sebelah Dian. Emh maksud gue Diandra!” ujar Rinan. Kening Phillia berkedut heran. “Diandra yang duduk sebelah gue. Emang kenapa?” tanya Phillia polos. Mereka berempat saling berpandang dan berkedut ngeri. “Yaah dia agak… eh ya gitu agak Freak” jelas Sita. Phillia mengangguk-angguk mengerti. “Emang aneh kenapa?” tanyanya lagi. Kali ini Defa yang menjawab. “Dia punya kekuatan aneh gitu. Kayak semacam supranatural gak jelas. Tapi Diandra ringkih banget mungkin karena kekuatannya kali ya!” jawabnya. Phillia tersenyum kikuk agak tidak percaya.
“Tapi tenang aja dia diem banget lo!” timpal Arfi yang dari tadi hanya diam. Phillia mengangguk-angguk berterima kasih. “Padahal kelas kita tanpa Diandra aja udah dikenal aneh dan terisolir. Tapi malah ketambahan anak aneh kayak dia. Untung ada lo Phill pasti anak-anak lain udah pada nyebar gosipnya. Pas seminggu sebelum lo dateng. Semua udah pada heboh ngebayangin ada anak keluarga Astara dateng kesini. Terus kita seneng banget dapet lo. Soalnya kelas 11 IPA 1 udah diisolir banget. Katanya kita anak-anak sok kepinteran and bla…bla…bla!” cerocos Arfi.
“Eh, shht orangnya dateng tuh!” bisik Defa angkat bicara. Satu persatu dari mereka kembali pelan-pelan ke kursi masing-masing. Tepat saja tebakan Raiya. Diandra sudah kembali ke kelas. Ia membawa kotak bekalnya yang kosong. Saat itu suasana kelas sudah sepenuhnya kosong. Hanya ada lima anak perempuan itu serta Diandra. Diandra berjalan timpang ke arah tempat duduknya. Keempat teman baru Phillia memberinya isyarat untuk mengajak keluar. Tetapi Phillia hanya tersenyum lalu menunjukkan kotak bekalnya yang berisi roti isi.
Mereka menunjukkan tampang khawatir. Tetapi Phillia hanya tersenyum sekilas menenangkan. Lalu mereka bergegas keluar kelas. Diandra duduk disampingnya dan menatapnya canggung. “Kamu gak ikut keluar?” tanyanya lagi dalam suara dalamnya yang berat. Phillia menggeleng dan membuka buku novelnya. “Nama aku Muhammad Diandra Zulfansyah Arifin” ujarnya sekilas. Phillia menoleh, pikirannya menerawang. Ia teringat kata-kata Arfi yang mengatakan ia sangat pendiam.
“Diandra kamu gak makan sama temen-temen yang lain?” tanya Phillia iseng. Ia menoleh dengan kening berkerut. “Jangan panggil Diandra. Panggilan Andra!” ujarnya tajam. Phillia menelan ludah ketakutan. Matanya tajam sekali ditambah dengan lingkaran mata itu. “Maaf!” ucap Phillia serak karena ketakutan. Andra hanya mendengus dan membaca buku tebalnya.
Dalam hati, Phillia mengutuk keras dirinya sendiri. Karena tidak mengikuti teman-temannya keluar. Sekarang suasana kelas benar-benar sepi. Hanya ada tarikan kuat nafas Phillia. Andra disampingnya hanya sesekali berdeham. Sudah berulang kali Phillia mencoba keluar kelas. Tetapi seperti sebuah medan magnet. Ia tertarik untuk tetap duduk disamping Andra. Hingga bel tanda masuk berbunyi. Satu persatu temannya memasuki ruang kelas. Hatinya kini menjadi sedikit lega.
--o0o--
“Lo hebat banget sih Phill bisa duduk sama Andra tanpa terganggu. Kalo gue sih udah males kali dari awal-awal!” ujar Rinan. Ketika itu mereka telah selesai sekolah. Phillia mengajak empat teman barunya itu ke rumah. Sekalian silahturahmi begitu. “Yah tapi dia kayaknya emm… lumayan kok gak jelek!” ungkap Phillia malu-malu.
“Bukan masalah itu kali Bu. Andra itu gak jelek sama sekali. Malah dia yah dia ganteng kok. Tapi coba lo tau tentang kemistisan dia. Pasti lo mikir lagi!” timpal Arfi. “Dulu kedatengan Andra tuh kayak kedatengan malaikat. Dia sempurna banget. Pinter, ganteng, tinggi, putih. Uaah bangga banget bisa sekelas. Tapi dia kayaknya gak suka kalo kita deketin. Sukanya sendirian, gak mau dideketin cewek” sahut Sita membenarkan. Di dengar dari kata-kata Sita, sepertinya ia tampak sakit hati.
“Emang dia mistis kenapa sih. Kayaknya dia cuma suka sendirian?” tanya Phillia. Disambung dengan menggigit keripik balado-nya. “Yah tak taulah dia gak pernah cerita dia anak siapa. Keluarganya gimana, tapi sih kayaknya anak orang kaya. Soalnya selalu dianter jemput pake Porsche-nya. Selebihnya gak jelas gitu!” jawab Defa. Ia tampak sedikit menyernyit karena keripik balado yang digigitnya pedas.
“Eh terus tadi pas gue panggil dia ‘Diandra’ dia langsung marah!” cerita Phillia. Teman-teman yang lainnya terkikik. “Diandra ‘kan nama cewek bu jelas aja marah!” celetuk Rinan disela-sela tawanya. Phillia mengerutkan kening, heran bercampur malu. “Kok kalian tenang-tenang aja manggil dia Dian atau Diandra. Kok gak bilang-bilang gue kalo dia maunya dipanggil Andra” rajuknya.
“Seneng aja ngeliat dia marah. Lagian dia cocokan dipanggil Dian. Lebih mirip cewek sih. Tau gak sih, dia tuh gak pernah ikut olah raga. Katanya dia ada salah posisi tulang atau apa gitu. Pokoknya banci banget deh” beber Defa. Sementara yang lain membenarkan. “Masa segitunya sih kok bisa-bisanya tulangnya salah. Apa maksudnya kok aneh gitu sih?” tanya Phillia heran.
“Ya gitulah haha dasar anak aneh. Jangan lupa besok bawa baju olahraga ya!” ujar Sita memperingatkan. Phillia mengangguk patuh, maklum anak baru. Udah dapet temen aja udah seneng. Begitulah pikir Phillia. “Eh nama belakangnya kan Arifin. Pasti dia dari keluarga Arifin atau nama bapaknya gitu. Pasti kalian tau kan?” tanya Phillia lagi. “Aah kita mah gak ngurusin hal begituan. Lagian dia udah cukup aneh. Daripada kita dikatain tambah aneh. Mending kita diemin dia aja!” jawab Defa asal.
--o0o--
Esok harinya, seperti biasa Phillia bangun pukul lima pagi. Selepas shalat shubuh, mandi dan sebagainya. Ia berangkat ke SMA Ciptra Ibu Ayah alias sekolahnya diantar supir pribadinya. Tetapi pada setengah pelajaran menuju sekolah. Tiba-tiba perutnya mual dan kepalanya pening sekali. Akhirnya mobil mercy-nya yang sudah dilap mengkilat. Menjadi kotor oleh muntahannya. Pak supir yang sering dipanggil Pak Kus tersenyum getir melihatnya.
Alhasil pada pelajaran olahraganya yang pertama pada jam pelajaran pertama. Tidak diikutinya dengan berat hati. Beberapa anak laki-laki yang sok kenal sok usil padanya mengejeknya. “Ciee gak olahraga nanti bareng Dian deh beduaan. Wah kayaknya mereka janjian gak olahraga nih!” begitu salah satu bunyinya. Phillia hanya diam tak menghiraukan. “Paling-paling mau caper,” begitu pikirnya.
Ketika mereka semua pindah ke Hall untuk berolahraga. Phillia tidak mampu mengikutinya. Ia hanya tertatih-tatih menuju UKS karena rasa sakit di perut dan kepalanya menyerang kembali. “Ini pasti PMS,” ujar ibu penjaga UKS ramah. Phillia mengangguk lemas, sambil tetap meminum Kiranti-nya. “Kamu istirahat dulu ya. Kalau ada apa-apa pencet tombol emergency saja. Ibu harus ke ruang guru dulu karena ada urusan. Kamu berani kan sendirian disini?” tanyanya. Phillia kembali mengangguk lemah. Perempuan itu bergegas mengepak semua barangnya. Setelah tersenyum ramah pada Phillia yang terkapar lemah di kasur. Ia bergegas keluar UKS.
Phillia mencoba memejamkan matanya namun tak bisa. Rasa sakit itu kembali menyerangnya. Rasanya sakit sekali, pelajaran olahraga berlangsung selama 2x45 menit. Sayup-sayup ia dapat mendengar suara pantulan bola basket. Teriakan-teriakan temannya. Serta alunan lagu dari sebuah piano. Kali ini Phillia merasa tubuhnya melayang. Suara piano itu begitu lembut dan indah. Ia belum pernah mendengar instrument piano ini sebelumnya. Nadanya bercampur-campur, ada lagu Autumn in My Heart, lagu-lagu semacam Lullaby dan Nada-nada tak beraturan lainnya yang dirangkai hingga menjadi satu kesatuan yang indah. Tak lama kemudian ia telah tertidur nyenyak. Mimpi tentang seorang pria yang selama ini mengusik pikirannya. Farhiz.
Ketika bangun, ia mendapati rasa sakit itu telah menghilang. Alunan piano itu masih terdengar. Pelan-pelan ia memakai selop khusus untuk UKS-nya. Ia turun dan pergi keluar UKS. Nada-nada itu seakan menyihirnya. Ruang UKS dan ruang musik bersebelahan. Ketika Phillia mencoba membuka pintu yang ternyata tak terkunci. Gagangnya berderit cukup keras. Ia mendorong pintu itu dan melihat ke dalam.
Dilihatnya ruangan itu kosong melompong. Kelambu Piano yang berada di tengah ruangan besar itu menjuntai dari kursinya ke lantai. Piano itu tidak tertutup, menandakan habis dipakai seseorang. Phillia mendekati piano itu takut-takut. Diatas kursi itu ada sebuah kertas not-not piano. Phillia mengambil kertas lusuh itu. Lagu itu tidak diketik tetapi ditulis tangan. Phillia menarik kesimpulan bahwa lagu yang tadi dimainkan merupakan ciptaan pemain piano yang tadi. Berarti pemain itu sangat pandai. Buktinya lagu tadi terdengar sangat indah. Mana mungkin ada yang dapat menciptakan lagu seperti itu.
Phillia berjalan mengitari ruangan. Melihat-lihat apakah ada tanda kehadiran Sang pemain piano. Ketika ia melewati jendela. Ia baru menyadari bahwa jendela itu tidak tertutup. Tirainya melambai-lambai seakan memberi petunjuk pada Phillia. Ia mendekati jendela itu dan melongok untuk melihat keluar. Dibawah sana terdapat banyak tanaman. Ia merasa ada sesuatu memperhatikannya dari bawah sana. Tapi ia tidak melihat apa-apa disana. Akhirnya ia putus asa dan mulai mengedikkan bulu kuduk. Ia akhirnya kembali ke ruang UKS.
Jam menunjukkan bahwa ia telah berada disana selama 80 menit. Itu berarti mungkin teman-temannya sedang berganti baju. Ia bergegas menggendongkan ranselnya. Lalu keluar UKS lagi. Tidak ada tanda kehidupan di SMA itu. Pasti semua orang tengah sibuk pada pekerjaannya. Murid-murid tengah berada di kelas. Sementara para guru sibuk mengajar. Ia melangkah menuju toilet anak perempuan. Pasti disana ia akan menemukan teman-temannya.
Tepat sekali dugaan Phillia. Ketika ia mencoba mendorong pintu toilet. Ia seperti menabrak seseorang. Beberapa anak yang berada di dalamnya terlonjak kaget. “Misi…maaf misi…maaf ganggu nih. Sori…sori!” ujarnya setiap kali menabrak orang. Teman-teman yang lainnya tersenyum ramah dan mempersilakannya. Hingga akhirnya ia menemukan keempat temannya. Mereka tengah mengobrol seru. Lalu Defa menyadari kedatangan Phillia.
“Phillia lo udah sembuh?” ujar Defa. Phillia mengangguk senang dan tersenyum. “Lo gak berduaan sama Andra kan?” celetuk Rinan. Phillia mendengus kesal. “Gua aja gak liat dia dimana!” jawabnya kesal. Sementara keempat temannya tertawa cekikikan. “Sabar ya, dia emang suka ngilang. Lo tadi di UKS kan?” tanya Sita. Ia tengah membetulkan letak rok abu-abunya. Phillia hanya menjawab dengan satu anggukan. Teman-teman yang lain serempak membentuk huruf O besar dimulut mereka.
--o0o--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar